Kali ini saya akan memposting sebuah Cerpen yang Insya Allah dapat membuat kita mau menghormati orang lain yang pernah bahkan sering membantu kita.
Baik cerita ini berjudul SEPEDA TUA pak DIRAN.Cerita ini saya ambil dari buku saya waktu saya SD
Di
daerah panas seperti kotaku ini, kota kecil dipingir pesisir, Hanya
panas Dan angin laut yang akrab dengan Alam. Hujan jarang menyapa,
meskipun menurut ramalan cuaca sebentar lagi hujan merata. Akan
tetapi, kami masih belum kebagian pemerataan tadi. Jika tidak karena
tangan dingin Pak Diran, mana mungkin halaman rumahku bisa hijau
seperti sekarang bahkan, tetangga rumah Rudi sering bilang soal
suburnya tanaman di rumah keluarga Rudi
"barangkali, Pak Diran
sakit,Rud,"kata ayan dengan geisah kepadaku."Tahu
sendirikan rumahnya jauh, naik sepeda tuanya paling tidak perlu waktu
satu jam sampai sini,"sambungnya
"iya barangkali," balasku
ragu.
Aku tahu meskipun umur Pak Diran hampir
sampai bilangan ke-60, Ku lihat fisiknya masih cukup kuat.Dia jarang
sakit. Barangkali karena kebiasaannya mengayuh sepeda sampai hampir
dua jam setia harinya.
Bi Minah, pembantu di rumahku yang satu
kampung dengan Pak Diran, hanya mengeleng-geleng saja ketika ditanya
tentang keadaan Pak Diran.
"ditengok saja kesana Rudi,
kalau-kalau Pak Diran sakit."
Aku masih ragu. Rasanya tak mungkin
Pak Diran sakit. Kermarin Dulu kelihatanya masih sehat saja, kok.
Tidak kelihatan sama sekali tanda-tanda kalau dia sakit.
Seminggu berlalu. Pak Diran belum
juga muncul.
Meski Sudah dirawat, tanaman-tanaman
dirumahku mulai merunduk layu. Aku tidak setelaten Pak Diran dalam
merawat tanaman.
"Besok akan Ku tengok Pak
Diran."kataku di dalam hati
Akhirnya keyakinanku bahwa Pak Diran
tidak sakit, luruh juga. Masak kalau sehat sudah seminggu ini tidak
Ada kabar Sama sekali. Pasti sakitnya berat pikirku. Atau
jangan-jangan kecelakaan? Maklum sepeda tuanya yang sudah
berkali-kali patah setangnya Dan berkali-kali pula masuk bengkel las,
tidak bisa menjadi jaminan keselamatannya. Pernah Ku tawarkan untuk
menganti sepeda tuanya dengan sepeda yang baru. Walau keluagaku tidak
kaya, jika Pak Diran mau, aku bisa menalanginya dahulu. Namun, Pak
Diran tetap tidak mau."Ah, tidak usah, nak Rudi, sepeda ini ya
masih kuat
kok.
Meski sudah reyot, "Sepeda ini punya nilai bagi saya."
tolaknya.
"Ya sudah saya tidak memaksa
Pak. Saya hanya menawarkan kalau-kalau Pak Diran setuju. Kalau Pak
Diran keberatan, saya ya nggak apa-apa." kataku. Dia pikir
sepeda warisan itu pasti punya nilai yang sangat khusus bagi Pak
Diran.
Matahari belum lagi sepenggalah,
ketika aku bersiap -siap untuk berangkat. Tiba-tiba, Pak Diran sudah
berdiri di hadapannya.
Mukanya kuyu kurang tidur. Bajunya
lusuh menambah kesan tua umurnya yang sudah lebih setengah abad.
"lho Pak! Saya kira Pak Diran
sakit. Habis sudah seminggu gak masuk. Apa sudah sehat, tho?"
cerocosku tanpa memberinya kesempatan bernapas.
"Anu, nak Rudi, sebelumnya
maafkan saya. Saya tidak sakit, tapi saya tidak sempat memberi kabar.
Sudah seminggu ini saya keluar-masuk pasar . Hampir tiap hari saya
keluyuran, nak," jelasnya.
Ada apa,Pak? Apa Pak Diran sudah
bosan kerja?" tanyaku penuh selidik.
"Tidak, nak! Saya senang, kok,
kerja di sini. Tapi saya sedang tertimpa musibah."
"lho,kena musibah, kok, malah
keluyuran? Gimana Pak Diran ini?" tanyaku sengit
" Sepeda saya nak, sepeda saya
hiang," katanya terbata-bata tak kuasa menyembunyikan dukanya.
"Seminggu ini saya
pontang-panting mencarinya, nak. Saya keluar masuk pasar loak, siapa
tahu sepeda saya Ada di sand," katanya lagi.
Aku kasihan melihatnya. Betapa
setia Pak Diran pada sepeda tuanya. Aku juga maklum, Ada nilai-nilai
berarti baginya yang Sama sekali tidak Ku pahami.
"Ya sudah Pak," hiburku.
"relakan sajalah' barang kali
memang sudah bukan rezeki Pak Diran lagi. Biar nanti saya belikan
sepeda yang baru supaya nanti Pak Diran bisa bekerja kembali,"
bujuk Rudi.
"Masalahnya tidak semudah itu,
Nak, huk, huk, hik," Pak Diran malah sesenggukan
"Saya tidak bisa menjelaskannya
pada Nak Rudi," tambahnya lagi
Aku jadi merasa geram dalam hati.
SiapA yang begitu tega menyakiti hati orang tua ini. Maling dari mana
yang mau mencuri sepeda yang bagi orang lain boleh dikata hampir
tidak Ada harganya. Namun, bagi Pak Diran sungguh lain. Niainya tidak
bisa di ukur bahkan di ganti sepeda baru pun ia tidak mau.
"sudah lapor polisi belum,
Pak?" Tanyaku ragu-ragu.
"belum,
Nak. Saya malu,habis sepeda saya Kan sudah bobrok. Apa Pak polisi mau
bantu mencarinya. Kerjaan Pak polisi juga sudah banyak, mana mau
repot-repot ngurusi sepeda tua? Apa Pak polisi mau mendengar laporan
saya?" tanyanya putus asa.
"Ya mau saja, Pak! Asal Pak
Diran lapor dengan benar Dan jelas, apa ciri-ciri barang yang hilang,
kapan Dan dimana hilangnya. Pasti Pak polisi mau membantu," aku
memberinya semangat.
"baik nak Rudi, saya akan
lapor supaya sepeda saya cepat ketemu. Apa lagi dua hari lagi umur
saya pas 60 tahun, Nak!"
Aku kaget mendengar kata Pak Diran.
Apa hubunganya umur 60 Dan sebuah sepeda tua?
"Jangan-jangan?" Ah tak
berani aku meneruskan lamunanku. Tak sempat Ku bertanya, Pak Diran
sudah minta pamit.
"saya pamit dulu, Nak, segera
setelah saya lapor Pak polisi, saya akan kerja kembali."
"ya sudah Pak, mudah-mudahan
sepedanya cepat ketemu," jawab Rudi dengan suka cita
membayangkan tanaman kesayanganya tidak akan layu lagi Dan
daun-daunnya pasti hijau lagi kalau sudah di sentuh tangan dingin Pak
Diran.
Dua hari kemudian, tepat pada hari
ulang tahunya ke-60, Pak Diran datang.
Wajahnya tak lagi kuyu, bajunya tak
lusuh lagi. Dituntunnya sepeda tua dengan sorot mata bahagia Dan
senggurat senyum tersunging di bibirnya yg keriput di makan usia.
Aku ikut bahagia karena dapat
merasakan bahagianya Pak Diran. Ternyata sepeda tuanya tak hilang Pak
Diran yang lupa.
Sepeda
itu pula yang menemaninya mengarungi pahit getir kehidupan dunia.
Dalam kehidupan kesendirianya, hanya sepeda tua itu yang setia
bersamanya selama bertahun-tahun.
~TAMAT~
Sekian cerita tadi semoga dapat bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar