Senin, 27 November 2017

SEPEDA TUA pak DIRAN

Kali ini saya akan memposting sebuah Cerpen yang Insya Allah dapat membuat kita mau menghormati orang lain yang pernah bahkan sering membantu kita.
Baik cerita ini berjudul SEPEDA TUA pak DIRAN.Cerita ini saya ambil dari buku saya waktu saya SD
SEPEDA TUA Pak DIRANHasil gambar untuk sepeda tua pak diran
Di daerah panas seperti kotaku ini, kota kecil dipingir pesisir, Hanya panas Dan angin laut yang akrab dengan Alam. Hujan jarang menyapa, meskipun menurut ramalan cuaca sebentar lagi hujan merata. Akan tetapi, kami masih belum kebagian pemerataan tadi. Jika tidak karena tangan dingin Pak Diran, mana mungkin halaman rumahku bisa hijau seperti sekarang bahkan, tetangga rumah Rudi sering bilang soal suburnya tanaman di rumah keluarga Rudi
"barangkali, Pak Diran sakit,Rud,"kata ayan dengan geisah kepadaku."Tahu sendirikan rumahnya jauh, naik sepeda tuanya paling tidak perlu waktu satu jam sampai sini,"sambungnya
"iya barangkali," balasku ragu.
Aku tahu meskipun umur Pak Diran hampir sampai bilangan ke-60, Ku lihat fisiknya masih cukup kuat.Dia jarang sakit. Barangkali karena kebiasaannya mengayuh sepeda sampai hampir dua jam setia harinya.
Bi Minah, pembantu di rumahku yang satu kampung dengan Pak Diran, hanya mengeleng-geleng saja ketika ditanya tentang keadaan Pak Diran.
"ditengok saja kesana Rudi, kalau-kalau Pak Diran sakit."
Aku masih ragu. Rasanya tak mungkin Pak Diran sakit. Kermarin Dulu kelihatanya masih sehat saja, kok. Tidak kelihatan sama sekali tanda-tanda kalau dia sakit.
Seminggu berlalu. Pak Diran belum juga muncul.
Meski Sudah dirawat, tanaman-tanaman dirumahku mulai merunduk layu. Aku tidak setelaten Pak Diran dalam merawat tanaman.
"Besok akan Ku tengok Pak Diran."kataku di dalam hati
Akhirnya keyakinanku bahwa Pak Diran tidak sakit, luruh juga. Masak kalau sehat sudah seminggu ini tidak Ada kabar Sama sekali. Pasti sakitnya berat pikirku. Atau jangan-jangan kecelakaan? Maklum sepeda tuanya yang sudah berkali-kali patah setangnya Dan berkali-kali pula masuk bengkel las, tidak bisa menjadi jaminan keselamatannya. Pernah Ku tawarkan untuk menganti sepeda tuanya dengan sepeda yang baru. Walau keluagaku tidak kaya, jika Pak Diran mau, aku bisa menalanginya dahulu. Namun, Pak Diran tetap tidak mau."Ah, tidak usah, nak Rudi, sepeda ini ya masih kuat kok. Meski sudah reyot, "Sepeda ini punya nilai bagi saya." tolaknya.
"Ya sudah saya tidak memaksa Pak. Saya hanya menawarkan kalau-kalau Pak Diran setuju. Kalau Pak Diran keberatan, saya ya nggak apa-apa." kataku. Dia pikir sepeda warisan itu pasti punya nilai yang sangat khusus bagi Pak Diran.
Matahari belum lagi sepenggalah, ketika aku bersiap -siap untuk berangkat. Tiba-tiba, Pak Diran sudah berdiri di hadapannya.
Mukanya kuyu kurang tidur. Bajunya lusuh menambah kesan tua umurnya yang sudah lebih setengah abad.
"lho Pak! Saya kira Pak Diran sakit. Habis sudah seminggu gak masuk. Apa sudah sehat, tho?" cerocosku tanpa memberinya kesempatan bernapas.
"Anu, nak Rudi, sebelumnya maafkan saya. Saya tidak sakit, tapi saya tidak sempat memberi kabar. Sudah seminggu ini saya keluar-masuk pasar . Hampir tiap hari saya keluyuran, nak," jelasnya.
Ada apa,Pak? Apa Pak Diran sudah bosan kerja?" tanyaku penuh selidik.
"Tidak, nak! Saya senang, kok, kerja di sini. Tapi saya sedang tertimpa musibah."
"lho,kena musibah, kok, malah keluyuran? Gimana Pak Diran ini?" tanyaku sengit
" Sepeda saya nak, sepeda saya hiang," katanya terbata-bata tak kuasa menyembunyikan dukanya.
"Seminggu ini saya pontang-panting mencarinya, nak. Saya keluar masuk pasar loak, siapa tahu sepeda saya Ada di sand," katanya lagi.
Aku kasihan melihatnya. Betapa setia Pak Diran pada sepeda tuanya. Aku juga maklum, Ada nilai-nilai berarti baginya yang Sama sekali tidak Ku pahami.
"Ya sudah Pak," hiburku.
"relakan sajalah' barang kali memang sudah bukan rezeki Pak Diran lagi. Biar nanti saya belikan sepeda yang baru supaya nanti Pak Diran bisa bekerja kembali," bujuk Rudi.
"Masalahnya tidak semudah itu, Nak, huk, huk, hik," Pak Diran malah sesenggukan
"Saya tidak bisa menjelaskannya pada Nak Rudi," tambahnya lagi
Aku jadi merasa geram dalam hati. SiapA yang begitu tega menyakiti hati orang tua ini. Maling dari mana yang mau mencuri sepeda yang bagi orang lain boleh dikata hampir tidak Ada harganya. Namun, bagi Pak Diran sungguh lain. Niainya tidak bisa di ukur bahkan di ganti sepeda baru pun ia tidak mau.
"sudah lapor polisi belum, Pak?" Tanyaku ragu-ragu.
"belum, Nak. Saya malu,habis sepeda saya Kan sudah bobrok. Apa Pak polisi mau bantu mencarinya. Kerjaan Pak polisi juga sudah banyak, mana mau repot-repot ngurusi sepeda tua? Apa Pak polisi mau mendengar laporan saya?" tanyanya putus asa.
"Ya mau saja, Pak! Asal Pak Diran lapor dengan benar Dan jelas, apa ciri-ciri barang yang hilang, kapan Dan dimana hilangnya. Pasti Pak polisi mau membantu," aku memberinya semangat.
"baik nak Rudi, saya akan lapor supaya sepeda saya cepat ketemu. Apa lagi dua hari lagi umur saya pas 60 tahun, Nak!"
Aku kaget mendengar kata Pak Diran. Apa hubunganya umur 60 Dan sebuah sepeda tua?
"Jangan-jangan?" Ah tak berani aku meneruskan lamunanku. Tak sempat Ku bertanya, Pak Diran sudah minta pamit.
"saya pamit dulu, Nak, segera setelah saya lapor Pak polisi, saya akan kerja kembali."
"ya sudah Pak, mudah-mudahan sepedanya cepat ketemu," jawab Rudi dengan suka cita membayangkan tanaman kesayanganya tidak akan layu lagi Dan daun-daunnya pasti hijau lagi kalau sudah di sentuh tangan dingin Pak Diran.
Dua hari kemudian, tepat pada hari ulang tahunya ke-60, Pak Diran datang.
Wajahnya tak lagi kuyu, bajunya tak lusuh lagi. Dituntunnya sepeda tua dengan sorot mata bahagia Dan senggurat senyum tersunging di bibirnya yg keriput di makan usia.
Aku ikut bahagia karena dapat merasakan bahagianya Pak Diran. Ternyata sepeda tuanya tak hilang Pak Diran yang lupa.
Sepeda itu pula yang menemaninya mengarungi pahit getir kehidupan dunia. Dalam kehidupan kesendirianya, hanya sepeda tua itu yang setia bersamanya selama bertahun-tahun.
~TAMAT~
Sekian cerita tadi semoga dapat bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar